Senin, 19 September 2011

MODEL-MODEL EVALUASI KURUKULUM

Model-Model Evaluasi Kurikulum
            Perkembangan model untuk evaluasi kurikulum memperlihatkan suatu gejala yang tidak berbeda dengan perkembangan disiplin ilmu pendidikan dan upaya-upaya pendidikan yang pernah dilakukan manusia. Meskipun demikian, sejarah perkembangan bidang evaluasi kurikulum dan kemudian menghasilkan model-model evaluasi kurikulum memperlihatkan sesuatu yang khas. Perkembangan berikutnya memperlihatkan fenomena lain dimana model-model evaluasi kurikulum tadi dikembangkan secara khusus baik secara individual(Provus model) maupun secara kelompok (CIPP). Pada dasarnya model-model evaluasi kurikulum dikelompokkan dalam tiga kategori utama, yaitu

1.  Model Evaluasi Kuantitatif
            Model kuantitatif ditandai oleh ciri yang menonjol dalam penggunaan prosedur kuantitatif untuk mengumpulkan data sebagai konsekuensi penerapan pemikiran paradigm positivistis. Seperti telah dikemukakan sebelumnya, paradigma positivisme menjadi tradisi keilmuan dalam evaluasi terutama melalui tradisi psikometrik. Tradisi psikometrik menekankan penggunaan prosedur dan alat evaluasi berdasarkan prosedur yang dikenal pengukuran dan metodologi positivistik.
a.  Model Black Box Tyler
            Model tyler dinamakan Black Box karena tidak ada nama resmi yang diberikan oleh pengembangnya. Model ini dibangun atas dua dasar, yaitu : evaluasi yang ditujukan kepada peserta didik dan evaluasi harus dilakukan  pada tingkah laku awal peserta didik sebelum suatu pelaksanaan kurikulum serta pada saat peserta didik telah melaksanakan kurikulum tersebut. Evaluasi kurikulum yang sebenarnya hanya berhubungan dengan hasil belajar. Evaluasi terhadap kurikullum sebagai kegiatan tidak dimasukkan dalam ruang lingkup evaluasi kurikulum oleh Tyler.
            Pada dasar evaluasi yang kedua, harus dipertimbangkan tingkah laku yang bagaimana yang harus diperlihatkan peserta didik sesuai dengan materi yang dipelajarinya. Disini, evaluator dituntut  untuk mengembangkan kisi-kisi tujuan yang akan dievaluasi dalam tabel dua dimensi, dimensi tingkah laku dan dimensi materi. Alat evaluasi dapat berbentuk tes dan alat ini adalah alat yang banyak digunakan orang. Guru dituntut merumuskan tujuan belajar yang harus dicapai peserta didik dalam bentuk behavioral objectives. Sebagai hasilnya maka muncullah taksonomi tujuan pendidikan yang dikembangkan Bloom dan kawan-kawan. Taksonomi tujuan pendidikan dapat memberikan arahan bagi perencanaan hasil belajar yang terukur.
            Model Tyler tidak memberikan perhatian mengenai proses yang terjadi di antara kedua tes tersebut, dan oleh karena itu model Tyler dikenal namanya dengan black box. Apabila model ini dagunakan dengan desain eksperimen, maka bagian proses mungkin saja terjadi sesuai yang diharapkan kurikulum. Tetapi ketika digunakan desain penelitian deskriptif dan proses yang terjadi tidak dievaluasi, ada kemungkinan apa yang terjadi pada peserta didik tidak seperti yang dirancang kurikulum. Karena itu bagian proses ini dianggap sebagai kotak hitam yang menyimpan segala macam teka-teki.
            Dalam pelaksanannya ada tiga prosedur utama yang harus dilakukan, yaitu :
1.        Menentukan tujuan kurikulum yang akan dievaluasi.
2.        Menentukan evaluasi dimana peserta didik akan mendapatkan kesempatan untuk memperlihatkan tingkah laku yang berhubungan dengan tujuan.
3.        Menentukan alat evaluasi yang akan digunakan untuk mengukur tingkah laku peserta didik.

b.  Model Teoritik Taylor dan Maguire
            Seperti tersurat dalam judulnya model Taylor dan Maguire ini lebih mendasarkan dirinya pada pertimbangan teoritik suatu model evaluasi kurikulum. Meskipun demikian hal ini tidak berarti bahwa pertimbangan praktis tidak diberikan dalam menerapkan beberapa langkah model tersebut.
            Model ini dikemukakan dalam versinya yang utuh. Dalam menggunakan model ini, secara tegas ada dua kegiatan utama yang harus dilakukan evaluator. Pertama, mengumpulkan data objektif yang dihasilkan dari berbagai sumber mengenai komponen tujuan, lingkungan, personalia, metode dan konten, serta hasil belajat, bbaik hasil belajar langsung maupun hasil belajar dalam jangka panjang. Data itu dikatakan data objektif karena mereka berasal dari luar pertimbangan evaluator. Kedua, pengumpulan data yang merupakan hasil pertimbangan individual terutama mengenai kualitas tujuan, masukan, dan hasil belajar. Unsur-unsur ini yang sebenarnya merupakan variable model ini, dimasukkan dalam suatu diagram yang terdiri atas 4 matriks, yaitu tujuan, penafsiran, strategi, dan hasil belajar.
            Cara kerja model ini dimulai dari adanya keinginan tertentu dalam masyarakat. Selanjutnya, keinginan tersebut memanifestasikan dirinya berupa tekanan-tekanan atau tuntutan terhadap pendidikan. Tekanan / tuntutan masyarakat ini dikembangkan menjadi tujuan. Tujuan dari masyarakat tadi dikembangkan menjadi tujuan yang ingin dicapai oleh kurikulum.

c.  Model Pendekatan Sistem Alkin
            Alkin termasuk salah seorang yang aktif dalam evaluasi. Pendekatan yang dilakukannya memiliki keunikan dibandingkan pakar evaluasi lainnya dimana ia selalu memasukkan unsure pendekatan ekonomi  mikro dalam pekerjaan evaluasi. Dalam model yang dinamakannya dengan pendekatan systems (systems approach) Alkin telah memasukkan variable perhitungan ekonomi dalam modelnya. Dalam masa-masa kemudian bahkan ia banyak menggunakan pendekatan ekonomi mikro yang lebih murni dalam evaluasi yang dilakukannya.
            Model ini digambarkan atas empat asumsi, yaitu :
1.      Variable perantara, satu-satunya variable yang dapat dimanipulasi.
2.      Sistem luar tidak langsung dipengaruhi oleh keluaran sistem (persekolahan).
3.      Para pengambil keputusan sekolah tidak memiliki kontrol mengenai pengaruh yang diberikan tas sistem luar terhadap sekolah.
4.      Faktor masukan mempengaruhi aktivitas faktor perantara dan pada gilirannya faktor perantara berpengaruh terhadap faktor keluaran.
Keempat asumsi tersebut harus terpenuhi sebelum model Alkin dapat digunakan.

D. Model Countenance Stake.
            Model countenance adalah model pertama evaluasi kurilulum yang dikembangkan Stake. Pengertian countenance adalah keseluruhan, sedangkan pengertian lain adalah sesuatu yang disenangi (favourable).
            Stake mendasarkan modelnya pada evaluasi formal, suatu kegiatan evaluasi yang sangat tergantung pada pemakaian “checklist, structured visitation by peers, controlled comparisons, and standardized testing of students” (Stake, 1972 ; 93). Model ini mempunyai keyakinan bahwa suatu evaluasi haruslah memberikan deskripsi dan pertimbangan sepenuhnya mengenai evaluan.
            Model Countenance Stake terdiri atas dua matriks. Matriks pertama dinamakan matriks Deskripsi dan yang kedua dinamakan Matriks Pertimbangan. Matriks pertimbangan baru dapat dikerjakan oleh evaluator setelah matriks Deskripsi diselesaikan. Matriks Desktripsi terdiri atas kategori rencana (intent) dan observasi. Matriks Pertimbangan terdiri atas kategori standard dan pertimbangan. Pada setiap kategori terdapat tiga fokus, bahwa setiap evaluasi harus memberikan perhatian terhadap keadaan sebelum kegiatan kelas berlangsung (antecendents), ketika kegiatan kelas berlangsung (transaksi), dan menghubungkannya dengan berbagai bentuk hasil belajar (out comes)

1.    Matriks Deskripsi
     Kategori pertama adalah sesuatu yang direncanakan pengembang kurikulum atau program. Dalam konteks KTSP, kurikulum tersebut adalah kurikulum yang dikembangkan atau digunakan oleh satu satuan pendidikan. Sedangkan program adalah silabus dan Rencana Program Pengajaran (RPP) yang dikembangkan guru. Guru sebagai pengembang program merencanakan keadaan/persyaratan yang diinginkannya untuk suatu kegiatan kelas tertentu. Misalnya yang berhubungan dengan minat, kemampuan, pengalaman,dan lain sebagainya dari peserta didik.
     Kategori kedua dinamakan observasi, berhubungan dengan apa yang sesungguhnya sebagai implementasi yang diindinkan pada kategori yang pertama. Ktegori ini juga sebagaimana yang pertama terdiri atas antecendents, transaksi , dan hasil. Evaluator harus melakukan observasi (pengumpulan data) mengenai antecendents, transaksi , dan hasil yang ada di suatu satuan pendidikan.
2.     Matriks Pertimbangan
     Terdiri atas kategori standard an pertimbangan, dan fokus antecendents, transaksi, dan outcomes (hasil yang diperoleh). Standar dapat dikembangkan dari karakteristik yang dimiliki kurikulum, tetapi dapat juga dari yang lain (pre-ordinate, mutually adaptive, proses).
     Kategori kedua adalah kategori pertimbangan. Kategori ini menghendaki evaluator melakukan pertimbangan dari apa yang telah dilakukan dari kategori yang pertama dan kedua matriks Deskripsi sampai kategori pertama matriks Pertimbangan. Suatu evaluasi harus sampai kepada pemberian pertimbangan.
Cara kerja model evaluasi Stake, evaluator mengumpulkan data mengenai apa yang diinginkan pengembang program baik yang berhubungan dengan kondisi awal, transaksi, dan hasil. Data dapat dikumpulkan melalui studi dokumen dapat pula melalui wawancara.
Analisis logis diperlukan dalam memberikan pertimbangan mengenai keterkaitan antara prasyarat awal, transaksi, dan hasil dari kotak-kotak tujuan. Evaluator harus dapat menentukan apakah prasyarat awal yang telah dikemukakan pengembang program akan tercapai dengan rencana transaksi yang dikemukakan. Atau sebetulnya ada model transaksi lain yang lebih efektif. Demikian pula mengenai hubungan antara transaksi dengan hasil yang diharapkan. Analisis kedua adalah analisis empirik. Dasar bekerjanya sama dengan analisis logis tapi data yang digunakan adalah data empirik.
Pekerjaan evaluator berikutnya adalah mengadakan analisis congruence (kesesuaian) antaraapa yang dikemukakan dalam tujuan (inten) dengan apa yang terjadi dalam kegiatan (observasi). Perlu diperhatikan apakah yang telah direncanakan dalam tujuan sesuai dengan pelaksanaanya di lapangan atau terjadi penyimpangan-penyimpangan.
Apabila analisis contingency  dan congruence tersebut telah selesai, maka evaluator menyerahkannya kepada tim yang trerdiri dari para ahli dan orang yang terllibat dalam program. Tim ini yang akan meneliti kesahihan hasil analilsis evaluator dan memberikan persepsinya mengenai faktor penting baik dalam contingency maupun congruence.

e. Model CIPP
              Model ini dikembangkan sebuah tim yang diketuai Stufflebeam yang bekerja sebagai profesordi Ohio State University.
Tujuan evaluasi konteks yang utama ialah untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan yang dimiliki oleh evaluan (Stufflebeam, 1983:128). Dengan mengetahui kekuatan dan kelemahan ini, evaluator dapat memberikan arah perbaikan yang diperlukan. Model CIPP membantu suatu satuan pendidikan untuk memutuskan apakah satuan pendidikan tersebut memerlukan suatu inovasi atau tidak. Apabila perlu, evaluator yang menggunakan model CIPP diharapkan dapat menentukan skala inovasi yang diperlukan.
              Dalam pelaksanaannya, evaluasi proses dari model CIPP bertujuan memperbaiki keadaan yang ada. Evaluator diminta untuk menentukan sampai sejauh mana rencana inovasi kurikulum dilaksanakan di lapangan, hambatan-hambatan apa yang ditemui yang  tidak diperkirakan sebelemnya, dan perubahan-perubahan apa yang harus dilakukan terhadap inovasi kurikulum tersebut. Evaluasi hasil adalah evaluasi berikutnya dalam model CIPP. Tujuan utamanya untuk menentukansampai sejauh mana kurikullum yang diimplementasikan tersebut telah dapat  memenuhi kebutuhan kelompok yang menggunakannya (Stufflebeam, 1983:134).
              Ruang lingkup kajian terhadap pengaruh berbagai faktor dalam model fokus evaluasi hasil CIPP memberikan kesan seolah-olah ada pengaruh model evaluasi Goal Free dari Scriven. Suatu hal yang pasti dan diakui oleh Stufflebeam terdapat perbedaan pandangan mengenai peran evaluasi yang cukup prinsipil antara dia dengan Scriven. Model CIPP lebih menekankan pada peran sumatif sedangkan model Scriven, baik formatif-sumatif maupun Goal Free, sangat memberikan perhatian yang besar terhadap peran formatif.
              Karena sifatnya yang sangat menekankan fungsi sumatif ketika berkaitan dengan evaluasi produk, sangat berbahaya kalau evaluasi produk dalam model CIPP dilakukan secara terpisah dengan evaluasi proses dan masukan. Keterbatasan ruang lingkup evaluasi produk merupakan hambatan sehingga informasi yang diberikannya tidak cukup kuat untuk digunakan sebagai landasan dalam menentukan nasib suatu inovasi kurikulum.
              Adanya kelemahan tersebut bukannya tidak disadari oleh Stufflebeam. Stufflebeum menyadari kelemahan dalam fokus pada evaluasi produk, dan oleh karena itu ia menganjurkan, kalaulah jenis-jenis evaluasi yang ada dalam CIPP akan dilakukan tidak secara utuh, sebaiknya pekerjaan evaluasi menggabungkan dua atau lebih dari jenis evaluasi yang ada untuk mengurangi kelemahan di atas.                                                      

4. Model Ekonomi Mikro
              Model ekonomi mikro pada dasarnya adalah model yang menggunakan pendekatan kuantitatif, yang memiliki fokus utama pada hasil (hasil dari pekerjaan, hasil belajar, dan hasil yang diperkirakan). Pertanyaan besar dari model ekonomi mikro adalah apakah hasil belajar yang diperoleh peserta didik sesuai dengan dana yang telah dikeluarkan. Menurut Levin (1983:17) ada  empat model di lingkungan ekonomi mikro yaitu cost-effectiveness, cost benefit, cost-utility, dan cost feasibility. Dari keempat model ini maka model cost-effectiveness yang paling sesuai untuk evaluasi kurikulum.
              Evaluator yang menerapkan model cost effectiveness harus dapat membandingkan dua program atau lebih, baik dana yang digunakan masing-masing program maupun hasil yang diakibatkan oleh setiap program. Perbandingan hasil dari kedua program tadi akan memberikan masukan bagi para pembuat keputusan mengenai program mana yang lebih menguntungkan dilihat dari hubungan antara dana dan hasil.
5.  Model Evaluasi Kualitatif           
              Model ini menggunakan metodologi kualitatif dalam pengumpulan data evaluasi. Menurut Reicchardt dan Cook (1979:9), dan Patton (1980:44-45) metodologi kualitatif berkembang dari filsafat fenomenologi. Selain penggunaan metodologi kualitatif, cirri khas lain dari model evaluasi kualitatif ialah selalu menempatkan proses pelaksanaan kurikulum sebagai fokus utama evaluasi. Oleh karena itu, kurikulum dalam dimensi kegiatan lebih mendapatkan perhatian dibandingkan dimensi lain, tetapi tidak menyebabkan pengabaian evaluasi terhadap dimensi lain. Model utama evaluasi kualitatif adalah studi kasus. Ada tiga model evaluasi kualitatif :

a.   Model Studi Kasus
              Model ini memusatkan perhatiannya kepada kegiatan pengembangan kurikulum di satu satuan pendidikan. Unit tersebut dapat saja berupa satu sekolah, satu kelas bahkan hanya seorang guru atau kepala sekolah. Karakteristik model ini adalah data yang dikumpulkan terutama adalah data kualitattatif. Data kualitatif kaya dengan deksripsi dan dianggap lebih memberikan makna dibandingkan data kuantitatif. Data kualitatif dianggap lebih dapat mmengungkapkan apa yang terjadi di lapangan. Proses yang direkam tidak dinyatakan dengan angka tetapi dengan ungkapan menggambarkan peristiwa-peristiwa dalam proses sebagai suatu rangkaian berkelasinambungan. Meskipun demikian, model studi kasus tidak menolak pemakaian data kuantitatif apabila data tersebut memang diperlukan.
              Dalam menggunakan model evaluasi studi kasus, tindakan pertama yang harus dilakukan evaluator ialah familiarisasi dirinya terhadap kurikulum yang dikaji. Familiarisasi ini sangat penting sehingga dapat dikatakan bahwa evaluator yang tidak familiar terhadap kurikulum dan lingkungan satuan pendidikan yang mengembangkan dan melaksanakan kurikulum tidak boleh melakukan evaluasi.
b. Model Illuminatif
Model evaluasi illuminatif mendasarkan dirinya pada paradigm antropologi sosial. Model illuminatif memberikan perhatian terhadap lingkungan luas dan bukan hanya kelas dimana suatu inovasi kurikulum dilaksanakan. Bagi  Indonesia, perhatian yang luas dari model illuminatif memberikan kemungkinan pemahaman terhadap KTSP suatu satuan pendidikan yang lebih baik.
              Ada dua dasar konsep utama, yaitu sistem instruksi (instructional system) dan lingkungan belajar (learning milieu). Sistem instruksional disina diartikan sebagai  “katalog, perspektus dan laporan-laporan kependidikan yang secara khusus berisi berbagai macam rencana dan pernyataan yang resmi berhubungan dengan pengaturan dan pengajaran.

c.  Model Responsive
              Model ini merupakan pengembangan lebih lanjut model countenancenya Stake, meskipun beberapa hal terdapat perbedaan yang prinsipil. Pertama, model countenance mempunyai fokus yang lebih luas dibanding model responsive. Model countenance memberikan perhatian terhadap kurikulum sebagai suatu rencana, dalam model responsive, fokus yang demikian sudah ditinggalkan.
              Perbedaan kedua ialah dalam pendekatan pengembangan kriteria. Model countenance berdasarkan pengembangan kriteria fidelity, model responsive mengembangkan kriterianya berdasarkan pendekatan proses. Model responsive tidak  berbicara tentang pemakaian instrumen standar, tetapi memberikan perhatian yang besar interaaksi antara evaluator dengan pelaksana kurikulum. Tanpa interaksi tidak satupun  “isu” yang dapat diungkapkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

kalau ada masukan tolong dikomen ya.... :)